Minggu, 02 Februari 2014

Media? Opini Publik?


“Emang susah kalau yang dikejar sama media itu cuma rating.”

Kicauan tersebut saya ambil dari akun twitter milik saya sendiri, karena tanpa saya sadari itu berasal dari pengamatan saya terhadap orang-orang yang ada di linimasa twitter saya. Media massa, media cetak, dan media elektronik yang memiliki kekuatan begitu besar kini seolah menjadi alat untuk mempermainkan isi kepala banyak orang. Seseorang yang berkuasa dan memiliki banyak dana bisa memanfaatkan media sebagai alat untuk mengatur opini publik dari masyarakat. Siapa yang memiliki banyak dana, dia yang bisa mengatur masyarakat, mungkin begitulah kiranya hakikat yang ditetapkan di negeri ini. Monopoli media dimana-mana.
Bukan itu intinya, saya cuma mau mengangkat isu yang sedang booming di linimasa twitter saat ini. Yaitu terkait kicauan di twitter milik Farhat Abbas dari akunnya @farhatabbaslaw kepada beberapa orang yang sedang booming atau sedang berada di puncak karir dan juga kepada orang yang sedang berada di puncak pemerintahan dan jabatan. Entah untuk mendompleng, entah untuk mencari sensasi, entah ingin numpang tenar, who knows. Dan satu lagi, entah itu akun pribadi miliknya atau ada adminnya…. Who knows?
Masalah yang fatal bukan terletak pada orangnya, tapi pada media yang dipergunakan sebagai alat untuk menyebarkan isu yang mengundang kontroversi masyarakat. Media yang sekarang ini dimanfaatkan untuk mencari keuntungan dan pemenuhan kepentingan pribadi benar-benar akan merusak moral bangsa jika yang ditawarkan hanyalah informasi dan isu-isu yang tidak berbobot. Bahwa tidak semua masyarakat mampu memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang tidak, atau manakah yang patut untuk dicerna dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan mana yang harus dibuang jauh. Kekuatan media sebagai sarana penyampai informasi, hiburan dan edukasi kini telah beralih fungsi sebagai aset dari seseorang dengan dana melimpah. Pikirkan bahwa masyarakat itu heterogen, latar belakangnya pendidikannya berbeda, latar belakang kehidupannya berbeda, lingkungannya berbeda, tidak akan semua memiliki isi kepala yang sama dan persepsi dari setiap orang tentu saja berbeda-beda.
Pada umumnya khalayak dianggap hanya sekumpulan orang yang heterogen dan mudah dipengaruhi. Sehingga, pesan-pesan yang disampaikan pada mereka akan selalu diterima. Fenomena tersebut melahirkan teori ilmu komunikasi yang dikenal dengan teori jarum suntik  (Hypodermic Needle Theory). Teori ini menganggap media massa memiliki kemampuan penuh dalam mempengaruhi seseorang. Media massa sangat perkasa dengan efek yang langsung pada masyarakat. Khalayak dianggap pasif  terhadap pesan media yang disampaikan. Teori ini dikenal juga dengan teori peluru, bila komunikator dalam hal ini media massa menembakan peluru yakni pesan kepada khalayak, dengan mudah khalayak menerima pesan yang disampaikan media. Teori ini makin powerfull ketika siaran radio Orson Welles (1938) menyiarkan tentang invansi makhluk dari planet mars menyebabkan ribuan orang di Amerika Serikat panik.
Teori ini berkembang di sekitar tahun 1930 hingga 1940an. Teori ini mengasumsikan bahwa komunikator yakni media massa digambarkan lebih pintar dan juga lebih segalanya dari audience.
Teori ini memiliki banyak istilah lain. Biasa kita sebut Hypodermic needle (teori jarum suntik), Bullet Theory (teori peluru) transmition belt theory (teori sabuk transmisi). Dari beberapa istilah lain dari teori ini dapat kita tarik satu makna, yakni penyampaian pesannya hanya satu arah dan juga mempunyai efek yang sangat kuat terhadap komunikan.
Teori tersebut menjelaskan begitu besarnya media dalam mempengaruhi khalayak, dan saat ini media malah digunakan sebagai alat untuk kepentingan pribadi semata, demi meraup keuntungan dan mencari kesenangan pribadi sesaat tanpa memikirkan jangka panjangnya. Saat ini media, entah itu media massa, media cetak atau media elektronik, sedang berusaha menjejali khalayak dengan pesan-pesan yang disampaikan dengan cara mereka. Sebagian dari mereka berusaha mati-matian berkreasi demi hanya mengejar target sebuah gelak tawa, sebagian lagi ada yang berusaha menguras otak demi kualitas yang dihasilkan dari suatu tayangan. Demi pesan yang tersampaikan dengan baik, karena tujuan dari komunikasi sendiri hakikatnya adalah melakukan pertukaran pesan.
Masalah yang sedang menarik untuk diamati saat ini adalah
Pertama, Farhat Abbas yang notabene adalah seorang pengacara, berlenggang di linimasa twitter dengan celotehan-celotehan miliknya yang kata dirinya sendiri tidak ada yang salah dengan itu semua. Seolah dengan sengaja mengundang kontroversi dan menarik banyak orang untuk mengomentari apa yang dia lontarkan.
Kedua, acara-acara yang ditayangkan di televisi, hampir semua beragam. Acara yang diselingi tarian selama berjam-jam. Menyuruh masyarakat untuk menyaksikan banyak orang berjoget dalam wkatu berjam-jam. Juga, acara televisi yang berisi candaan verbal yang berlebihan dan tidak sopan. Melecehkan seseorang.
Ketiga, Maraknya monopoli media.
Keempat, pemberitaan media yang kerap kali menyudutkan beberapa orang tertentu dan menguak privasinya terlalu dalam, mengusik kehidupan pribadi seseorang terlalu jauh.
Juga masih banyak hal lainnya, namun empat hal di atas menurut saya adalah hal yang sedang booming saat ini, sampai-sampai dibuat petisi untuk ditandatangani demi meminta dukungan untuk memberhentikan acara tersebut dengan alasan untuk memperbaiki moral bangsa yang sedang di doktrin ini. Saya sendiri, saya tak bisa menghindar dari ini semua, karena hampir semua orang di sekitar saya menikmatinya dan membawa saya masuk ke dalamnya.
Mari bahas dari poin pertama, Farhat Abbas dan celetukannya di twitter. Bagi saya, itu hak beliau untuk menyampaikan apa yang ada di kepalanya melalui tulisan dan di sampaikan di akun media sosial miliknya, semua orang memiliki hak untuk itu. Tapi, semua orang pun berhak untuk mengomentari dan berhak pula untuk tidak menyukai apa yang Farhat Abbas lakukan. Semua tergantung persepsi masing-masing juga. Bagi saya sendiri, saya memang tidak menyukai kata-kata yang beliau sampaikan di twitter, terkesan arogan dan merasa paling benar. Seolah twitter hanya miliknya sendiri dan seolah tidak berpikir panjang dengan apa yang akan terjadi setelah apa yang dia tuliskan di akun pribadi miliknya dan apa yang dia ucapkan di media.
Komunikasi itu bersifat Irreversible, yang artinya tidak dapat di bolak-balik atau tidak dapat ditarik kembali. Apa yang sudah dikeluarkan, apa yang sudah disampaikan, apa yang sudah diucapkan, apa yang sudah diutarakan, ketika semuanya sudah diterima oleh semesta, semuanya takkan bisa dikembalikan lagi. Tidak akan.
Entah dibalik itu semua, kita sebagai khalayak yang menikmatinya tidak akan pernah tahu apa maksud yang sedang dikerjakan oleh Farhat Abbas, apa yang melatarbelakanginya, apa yang menjadi motivasinya, apa yang menjadi tujuannya, kita tak akan pernah tahu yang sebenarnya. Bisa jadi pengakuannya hanya sebuah rekayasa, di media, semuanya bisa seperti panggung sandiwara. Tak ada satu pun yang bisa kita percayai. Namun, dibalik apa yang dia lakukan dengan kritik pedasnya tersebut, pasti dia meraup keuntungan tertentu. Tanpa kita sadari, salah satunya adalah namanya dikenal banyak orang dengan sendirinya tanpa harus mempromosikan diri dengan cara mahal, orang-orang dengan penasarannya akan mencari dirinya. Dan sekarang dengan maraknya pemberitaan media tentang dirinya semakin melambungkan namanya.
Poin kedua, terletak pada beberapa acara yang sama. Dengan embel-embel acara yang menghibur, namun selipan-selipan candaan yang bersifat verbal dan non-verbal benar-benar tidak layak untuk disaksikan. Memangnya apa makna dan keuntungan yang bisa kita ambil dari bercandaan sekumpulan orang yang menaburkan terigu atau bedak tabur ke wajah seseorang? Atau, apa yang lucu dari memanfaatkan fisik seseorang dengan menjodoh-jodohkannya dengan orang lain dan menjadikan bahan olok-olok juga bahan tertawaan? Lalu, keuntungan apa yang dapat kita peroleh dari menyaksikan acara di televisi dengan isi sekelompok orang yang berjoget dalam waktu berjam-jam hingga larut malam. Iya, keuntungan bagi sekelompok orang tapi pembodohan bagi masyarakat awam. Bahkan di media sosial beredar petisi untuk ditandatangani agar segera dihentikannya acara ini. Barangkali teman-teman ingin ikut menandatanganinya, silahkan klik link dibawah ini :
        Poin ketiga, maraknya monopoli media. Sehubungan dengan adanya pesta rakyat di tahun 2014 ini, para pemegang dana melimpah memanfaatkan media untuk dimonopoli demi menarik opini publik, demi mengiklankan dirinya dan partai-partai politik yang (katanya) berlomba menyuarakan aspirasi rakyat. Orang-orang dengan dana melimpah itu memanfatkan media untuk menaruh iklan-iklan mereka di banyak tempat, berhubung dialah pemiliknya, jadi dia bisa menaruh banyak iklan di beberapa media miliknya, entah media cetak, media online ataupun elektronik. Sayangnya, rakyat Indonesia kini tak cukup bodoh untuk ditawarkan ajnji-janji palsu setelah apa yang mereka alami dan apa yang mereka dapatkan, pemimpin yang katanya mengabdikan dirinya untuk rakyat, ingatlah, bahwa janji bukan lagi prioritas bagi seluruh rakyat, mereka butuh bukti nyata.
Poin keempat, pemberitaan media yang kerap kali menyudutkan beberapa orang tertentu dan menguak privasinya terlalu dalam, mengusik kehidupan pribadi seseorang terlalu jauh. Iya, saya mengerti jika penghasilan para pencari berita adalah dengan mencari berita yang akurat. Namun, kerap kali saya merasa bahwa pemberitaan di televisi terlalu berlebihan. Terlalu memojokkan, terkesan sangat ingin tahu dan mengganggu kehidupan pribadi seseorang. Artis yang bermasalah dikuak sampai jauh sekali beritanya, pejabat yang korupsi dicari tahu masa lalunya seperti apa. Jika memberitakan orang-orang ternama merupakan ladang uang bagi para pemburu berita, alangkah baiknya jika dipilih dan dipilah amna yang benar dan mana yang salah, mana yang baik untuk dikonsumsi masyarakat dan mana yang tidak, mana yang akan merusak mental amsyarakat dan tidak, mana yang dirasa akan menebar fitnah dan mana yang tidak. Bagi saya mungkin itu bukan hal menyenangkan jika hidup kita diusik sebegitu jauh hingga dicari masa lalu kita seperti apa bobroknya..
Mungkin itulah opini yang bisa saya sampaikan mengenai media saat ini, ini adalah tulisan saya untuk menyampaikan argumentasi, karena setiap orang berhak berpendapat dari segi pandang mana pun, jika terdapat banyak kesalahan, saya mohon koreksinya, terimakasih banyak, dan tetap menulis!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comment here, Cheers! :)