“Emang susah kalau yang dikejar
sama media itu cuma rating.”
Kicauan
tersebut saya ambil dari akun twitter milik saya sendiri, karena tanpa saya
sadari itu berasal dari pengamatan saya terhadap orang-orang yang ada di
linimasa twitter saya. Media massa, media cetak, dan media elektronik yang
memiliki kekuatan begitu besar kini seolah menjadi alat untuk mempermainkan isi
kepala banyak orang. Seseorang yang berkuasa dan memiliki banyak dana bisa
memanfaatkan media sebagai alat untuk mengatur opini publik dari masyarakat.
Siapa yang memiliki banyak dana, dia yang bisa mengatur masyarakat, mungkin
begitulah kiranya hakikat yang ditetapkan di negeri ini. Monopoli media
dimana-mana.
Bukan
itu intinya, saya cuma mau mengangkat isu yang sedang booming di linimasa
twitter saat ini. Yaitu terkait kicauan di twitter milik Farhat Abbas dari
akunnya @farhatabbaslaw kepada beberapa orang yang sedang booming atau sedang
berada di puncak karir dan juga kepada orang yang sedang berada di puncak
pemerintahan dan jabatan. Entah untuk mendompleng, entah untuk mencari sensasi,
entah ingin numpang tenar, who knows. Dan satu lagi, entah itu akun pribadi
miliknya atau ada adminnya…. Who knows?
Masalah
yang fatal bukan terletak pada orangnya, tapi pada media yang dipergunakan sebagai
alat untuk menyebarkan isu yang mengundang kontroversi masyarakat. Media yang
sekarang ini dimanfaatkan untuk mencari keuntungan dan pemenuhan kepentingan
pribadi benar-benar akan merusak moral bangsa jika yang ditawarkan hanyalah
informasi dan isu-isu yang tidak berbobot. Bahwa tidak semua masyarakat mampu
memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang tidak, atau manakah yang patut
untuk dicerna dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan mana yang harus
dibuang jauh. Kekuatan media sebagai sarana penyampai informasi, hiburan dan
edukasi kini telah beralih fungsi sebagai aset dari seseorang dengan dana
melimpah. Pikirkan bahwa masyarakat itu heterogen, latar belakangnya
pendidikannya berbeda, latar belakang kehidupannya berbeda, lingkungannya berbeda,
tidak akan semua memiliki isi kepala yang sama dan persepsi dari setiap orang
tentu saja berbeda-beda.
Pada
umumnya khalayak dianggap hanya sekumpulan orang yang heterogen dan mudah
dipengaruhi. Sehingga, pesan-pesan yang disampaikan pada mereka akan selalu
diterima. Fenomena tersebut melahirkan teori ilmu komunikasi yang dikenal
dengan teori jarum suntik (Hypodermic
Needle Theory). Teori ini menganggap media massa memiliki kemampuan penuh dalam
mempengaruhi seseorang. Media massa sangat perkasa dengan efek yang langsung
pada masyarakat. Khalayak dianggap pasif terhadap pesan media yang
disampaikan. Teori ini dikenal juga dengan teori peluru, bila komunikator dalam
hal ini media massa menembakan peluru yakni pesan kepada khalayak, dengan mudah
khalayak menerima pesan yang disampaikan media. Teori ini makin powerfull
ketika siaran radio Orson Welles (1938) menyiarkan tentang invansi makhluk dari
planet mars menyebabkan ribuan orang di Amerika Serikat panik.
Teori
ini berkembang di sekitar tahun 1930 hingga 1940an. Teori ini mengasumsikan
bahwa komunikator yakni media massa digambarkan lebih pintar dan juga lebih
segalanya dari audience.
Teori
ini memiliki banyak istilah lain. Biasa kita sebut Hypodermic needle (teori
jarum suntik), Bullet Theory (teori peluru) transmition belt theory (teori
sabuk transmisi). Dari beberapa istilah lain dari teori ini dapat kita tarik
satu makna, yakni penyampaian pesannya hanya satu arah dan juga mempunyai efek
yang sangat kuat terhadap komunikan.
Teori
tersebut menjelaskan begitu besarnya media dalam mempengaruhi khalayak, dan
saat ini media malah digunakan sebagai alat untuk kepentingan pribadi semata,
demi meraup keuntungan dan mencari kesenangan pribadi sesaat tanpa memikirkan
jangka panjangnya. Saat ini media, entah itu media massa, media cetak atau
media elektronik, sedang berusaha menjejali khalayak dengan pesan-pesan yang
disampaikan dengan cara mereka. Sebagian dari mereka berusaha mati-matian
berkreasi demi hanya mengejar target sebuah gelak tawa, sebagian lagi ada yang
berusaha menguras otak demi kualitas yang dihasilkan dari suatu tayangan. Demi
pesan yang tersampaikan dengan baik, karena tujuan dari komunikasi sendiri
hakikatnya adalah melakukan pertukaran pesan.
Masalah
yang sedang menarik untuk diamati saat ini adalah
Pertama,
Farhat Abbas yang notabene adalah seorang pengacara, berlenggang di linimasa
twitter dengan celotehan-celotehan miliknya yang kata dirinya sendiri tidak ada
yang salah dengan itu semua. Seolah dengan sengaja mengundang kontroversi dan
menarik banyak orang untuk mengomentari apa yang dia lontarkan.
Kedua,
acara-acara yang ditayangkan di televisi, hampir semua beragam. Acara yang
diselingi tarian selama berjam-jam. Menyuruh masyarakat untuk menyaksikan
banyak orang berjoget dalam wkatu berjam-jam. Juga, acara televisi yang berisi
candaan verbal yang berlebihan dan tidak sopan. Melecehkan seseorang.
Ketiga,
Maraknya monopoli media.
Keempat,
pemberitaan media yang kerap kali menyudutkan beberapa orang tertentu dan
menguak privasinya terlalu dalam, mengusik kehidupan pribadi seseorang terlalu
jauh.
Juga
masih banyak hal lainnya, namun empat hal di atas menurut saya adalah hal yang
sedang booming saat ini, sampai-sampai dibuat petisi untuk ditandatangani demi
meminta dukungan untuk memberhentikan acara tersebut dengan alasan untuk
memperbaiki moral bangsa yang sedang di doktrin ini. Saya sendiri, saya tak
bisa menghindar dari ini semua, karena hampir semua orang di sekitar saya
menikmatinya dan membawa saya masuk ke dalamnya.
Mari
bahas dari poin pertama, Farhat Abbas dan celetukannya di twitter. Bagi saya,
itu hak beliau untuk menyampaikan apa yang ada di kepalanya melalui tulisan dan
di sampaikan di akun media sosial miliknya, semua orang memiliki hak untuk itu.
Tapi, semua orang pun berhak untuk mengomentari dan berhak pula untuk tidak
menyukai apa yang Farhat Abbas lakukan. Semua tergantung persepsi masing-masing
juga. Bagi saya sendiri, saya memang tidak menyukai kata-kata yang beliau
sampaikan di twitter, terkesan arogan dan merasa paling benar. Seolah twitter
hanya miliknya sendiri dan seolah tidak berpikir panjang dengan apa yang akan
terjadi setelah apa yang dia tuliskan di akun pribadi miliknya dan apa yang dia
ucapkan di media.
Komunikasi
itu bersifat Irreversible, yang artinya tidak dapat di bolak-balik atau tidak
dapat ditarik kembali. Apa yang sudah dikeluarkan, apa yang sudah disampaikan,
apa yang sudah diucapkan, apa yang sudah diutarakan, ketika semuanya sudah
diterima oleh semesta, semuanya takkan bisa dikembalikan lagi. Tidak akan.
Entah
dibalik itu semua, kita sebagai khalayak yang menikmatinya tidak akan pernah
tahu apa maksud yang sedang dikerjakan oleh Farhat Abbas, apa yang
melatarbelakanginya, apa yang menjadi motivasinya, apa yang menjadi tujuannya,
kita tak akan pernah tahu yang sebenarnya. Bisa jadi pengakuannya hanya sebuah
rekayasa, di media, semuanya bisa seperti panggung sandiwara. Tak ada satu pun
yang bisa kita percayai. Namun, dibalik apa yang dia lakukan dengan kritik
pedasnya tersebut, pasti dia meraup keuntungan tertentu. Tanpa kita sadari,
salah satunya adalah namanya dikenal banyak orang dengan sendirinya tanpa harus
mempromosikan diri dengan cara mahal, orang-orang dengan penasarannya akan
mencari dirinya. Dan sekarang dengan maraknya pemberitaan media tentang dirinya
semakin melambungkan namanya.
Poin
kedua, terletak pada beberapa acara yang sama. Dengan embel-embel acara yang
menghibur, namun selipan-selipan candaan yang bersifat verbal dan non-verbal
benar-benar tidak layak untuk disaksikan. Memangnya apa makna dan keuntungan
yang bisa kita ambil dari bercandaan sekumpulan orang yang menaburkan terigu
atau bedak tabur ke wajah seseorang? Atau, apa yang lucu dari memanfaatkan
fisik seseorang dengan menjodoh-jodohkannya dengan orang lain dan menjadikan bahan
olok-olok juga bahan tertawaan? Lalu, keuntungan apa yang dapat kita peroleh
dari menyaksikan acara di televisi dengan isi sekelompok orang yang berjoget
dalam waktu berjam-jam hingga larut malam. Iya, keuntungan bagi sekelompok
orang tapi pembodohan bagi masyarakat awam. Bahkan di media sosial beredar
petisi untuk ditandatangani agar segera dihentikannya acara ini. Barangkali
teman-teman ingin ikut menandatanganinya, silahkan klik link dibawah ini :
Poin ketiga, maraknya
monopoli media. Sehubungan dengan adanya pesta rakyat di tahun 2014 ini, para
pemegang dana melimpah memanfaatkan media untuk dimonopoli demi menarik opini
publik, demi mengiklankan dirinya dan partai-partai politik yang (katanya)
berlomba menyuarakan aspirasi rakyat. Orang-orang dengan dana melimpah itu
memanfatkan media untuk menaruh iklan-iklan mereka di banyak tempat, berhubung
dialah pemiliknya, jadi dia bisa menaruh banyak iklan di beberapa media
miliknya, entah media cetak, media online ataupun elektronik. Sayangnya, rakyat
Indonesia kini tak cukup bodoh untuk ditawarkan ajnji-janji palsu setelah apa
yang mereka alami dan apa yang mereka dapatkan, pemimpin yang katanya
mengabdikan dirinya untuk rakyat, ingatlah, bahwa janji bukan lagi prioritas
bagi seluruh rakyat, mereka butuh bukti nyata.
Poin
keempat, pemberitaan media yang kerap kali menyudutkan beberapa orang tertentu
dan menguak privasinya terlalu dalam, mengusik kehidupan pribadi seseorang
terlalu jauh. Iya, saya mengerti jika penghasilan para pencari berita adalah
dengan mencari berita yang akurat. Namun, kerap kali saya merasa bahwa
pemberitaan di televisi terlalu berlebihan. Terlalu memojokkan, terkesan sangat
ingin tahu dan mengganggu kehidupan pribadi seseorang. Artis yang bermasalah
dikuak sampai jauh sekali beritanya, pejabat yang korupsi dicari tahu masa
lalunya seperti apa. Jika memberitakan orang-orang ternama merupakan ladang
uang bagi para pemburu berita, alangkah baiknya jika dipilih dan dipilah amna
yang benar dan mana yang salah, mana yang baik untuk dikonsumsi masyarakat dan
mana yang tidak, mana yang akan merusak mental amsyarakat dan tidak, mana yang
dirasa akan menebar fitnah dan mana yang tidak. Bagi saya mungkin itu bukan hal
menyenangkan jika hidup kita diusik sebegitu jauh hingga dicari masa lalu kita
seperti apa bobroknya..
Mungkin
itulah opini yang bisa saya sampaikan mengenai media saat ini, ini adalah
tulisan saya untuk menyampaikan argumentasi, karena setiap orang berhak
berpendapat dari segi pandang mana pun, jika terdapat banyak kesalahan, saya
mohon koreksinya, terimakasih banyak, dan tetap menulis!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment here, Cheers! :)